MAKALAH
PENGENALAN CYBERLAW DAN RUANG LINGKUPNYA


Oleh:
Kelompok 9
1.      Matius Nugroho A. (1110962023)
2.      Dhani Adiatma Rimen (1110963009)
3.      Yeri Hidayat (1210962019)
4.      Dian Wira Winanta (1210962010)
5.      Doni Aidi Yandra (1210963008)
6.      Agalalan Agustin (1210963013)
7.      Rani Dian Neliani (1311521039)
8.      Alvi Dwi Wahyuni (1311521048)
9.      Subnanda Enriko (1311522009)


Dosen:
Meza Silvana


JURUSAN SISTEM INFORMASI
FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
2014



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Jaringan internet sudah tak asing lagi di tengah kehidupan masyarakat bahkan sudah menjadi kebutuhan yang setiap hari dimanfaatkan dalam berbagai hal oleh berbagai profesi, dari anak-anak hingga dewasa. Fungsi internet yang tak diragukan lagi dalam membantu meringankan aktifitas masyarakat juga menyandang sisi negatif karena internet menyediakan semua informasi dan tak ada batasan apapun.
Karena itu, jaringan internet dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, termasuk yang ingin melakukan perbuatan kejahatan, seperti penipuan dan pencurian data pun semakin mudah. Dalam dunia internet hal itu kita kenal dengan nama cyber crime. Contohnya: hacking, cracking, carding, spoofing, pishing, spionase, dan sebagainya. Kejahatan dalam dunia maya ini tak hanya merugikan satu-dua oranga tapi banyak orang bahkan satu intansi / perusahaan yang datanya kacau bahkan rusak oleh tindakan yang tak bertanggung jawab ini.
Kejahatan yang tak terlihat ini oleh mata telanjang tapi hasil yang ditimbulkan sangat merugikan orang-orang dalam hitungan detik, harus diatasi dengan serius. Karena itu negara dan hubungan internasional telah mengantisipasi dengan membuat undang-undang khusus untuk mengatur kegiatan cyber (dunia maya) dan tindakan hukum pada orang-orang yang melakukan kejahatan dengan memanfaatkan internet (cyber crime). Penegak hukum dalam dunia cyber ini kita sebut dengan cyberlaw.

B.     Tujuan
Makalah ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan mata kuliah Etika Profesi pada semester ganjil tahun 2014. Selain itu sebagai pengenalan tentang cyberlaw dan fungsinya di tengah masyarakat.



C.    Batasan Masalah
Makalah ini akan diberi batasan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana sejarah dari cyberlaw?
2.      Bagaimana pengertian daricyberlaw?
3.      Bagaimana ruang lingkup dari cyberlaw?
4.      Bagaimana UU yang mengatur cybercrime?


D.    Kesimpulan
Cyberlaw merupakan penegak hukum dalam dunia cyber yang melakukan tindak kejahatan dengan menggunakan teknologi komputer dan jaringan internet.



















BAB II
PEMBAHASAN


Sejarah Cyberlaw
·         Indonesia
UU ITE mulai dirancang pada bulan Maret 2003 oleh kementerian negara Komunikasi dan Informasi (kominfo) yang pada mulanya RUU ITE diberi nama Undang-Undang Informasi Komunikasi dan Transaksi Elektronik oleh Departemen Perhubungan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, serta bekerja sama dengan tim dari universitas yang ada di Indonesia yaitu Universitas Padjajaran (UNPAD), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI).
Pada tanggal 5 September 2005 secara resmi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan RUU ITE kepada DPR melalui surat No.R/70/Pres/9/2005. Dan menunjuk Dr.Sofyan A Djalil (Menteri Komunikasi dan Informatika) dan Mohammad Andi Mattalata (Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia) sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan bersama dengan DPR RI. Dalam rangka pembahasan RUU ITE Departerment Komunikasi dan Informsi membentuk Tim Antar Departemen (TAD). Melalui Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 83/KEP/M.KOMINFO/10/2005 tanggal 24 Oktober 2005 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri No. 10/KEP/M.Kominfo/01/2007 tanggal 23 Januari 2007. Bank Indonesia masuk dalam Tim Antar Departemen (TAD) sebagai pengarah (Gubernur Bank Indonesia), narasumber (Deputi Gubernur yang membidangi Sistem Pembayaran), sekaligus merangkap sebagai anggota bersama-sama dengan instansi/departemen terkait. Tugas tim antar departemen antara lain adalah menyiapkan bahan, referensi, dan tanggapan dalam pelaksanaan pembahasan RUU ITE, dan mengikuti pembahasan RUU ITE di DPR RI.
Dewan Perwakilam Rakyat (DPR) merespon surat Presiden No.R/70/Pres/9/2005. Dan membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU ITE yang beranggotakan 50 orang dari 10 Fraksi di DPR RI. Dalam rangka menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) atas draft RUU ITE yang disampaikan pemerintah tersebut, pansus RUU ITE menyelenggarakan 13 kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan berbagai pihak, antara lain perbankan, Lembaga Sandi Negara, operator telekomunikasi, aparat penegak hukum dan kalangan akademisi.Akhirnya pada bulan Desember 2006 Pansus DPR RI menetapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebanyak 287 DIM RUU ITE  yang  berasal dari 10 Fraksi yang tergabung dalam Pansus RUU ITE DPR RI.
Tanggal 24 Januari 2007 sampai dengan 6 Juni 2007 pansus DPR RI dengan pemerintah yang diwakili oleh Dr. Sofyan A Djalil (Menteri Komunikasi dan Informatika) dan Mohammad Andi Mattalata (Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia) membahas DIM RUU ITE. Tanggal 29 Juni 2007 sampai dengan 31 Januari 2008 pembahasan RUU ITE dalam tahapan Pembentukan Dunia Kerja (panja). Sedangkan pembahasan RUU ITE tahap Tim Perumus (timus) dan Tim Sinkronisasi (timsin) yang berlangsung sejak tanggal 13 Februari 2008 sampai dengan 13 Maret 2008.
Pada tanggal 18 Maret 2008 merupakan naskah akhir UU ITE dibawa ke tingkat II sebagai pengambilan keputusan. Tanggal 25 Maret 2008, 10 Fraksi menyetujui RUU ITE ditetapkan menjadi Undang-Undang. Selanjutnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani naskah UUITE menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 58 Tahun 2008 dan Tambahan Lembaran Negara.
Cyberlaw atau Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sendiri baru ada di Indonesia dan telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008. UU ITE terdiri dari 13 bab dan 54 pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi di dalamnya. Sejak satu dekade terakhir Indonesia cukup serius menangani berbagai kasus terkait Cybercrime. Menyusun berbagai rancangan peraturan dan perundang-undangan yang mengatur aktivitas user di dunia maya. Dengan peran aktif pemerintah seperti itu, dapat dikatakan Cyberlaw telah mulai diterapkan dengan baik di Indonesia. Sebagai salah satu bukti nyata adalah dibuatnya suatu kebijakan dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ada hal-hal pokok yang bisa dipegang dalam undang-undang ini. Dalam undang-undang ini pada Pasal 1 yang dimaksud dengan:
1.      Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Electronic Data Interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
2.      Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
3.      Teknologi informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
4.      Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makan atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
5.      Sistem elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik.
6.      Penyelenggaraan sistem elektronik adalah pemanfaatan sistem elektronik oleh penyelenggara negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat.
7.      Jaringan sistem elektronik adalah terhubungnya dua sistem elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
8.      Agen elektronik adalah perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu informasi elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh orang.
9.      Sertifikat slektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
10.  Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit sertifikat elektronik.
11.  Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam transaksi elektronik.
12.  Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
13.  Penanda tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.
14.  Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
15.  Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan sistem elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
16.  Kode akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau sistem elektronik lainnya.
17.  Kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik.
18.  Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
19.  Penerima adalah subjek hukum yang menerima informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dari pengirim.
20.  Nama domain adalah alamat internet penyelenggara negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
21.  Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum. Badan usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
22.  Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden.

Pengertian Cyberlaw
Cyberlaw adalah aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang-perorangan atau subjek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber (dunia maya). Cuberlaw sendiri merupakan istilah yang berasala dari cyberspase law.
Andi Hamzah (1989) dalam tulisannya, Aspek-Aspek Pidana di Bidang Komputer, mengartikan kejahatan komputer sebagai  “Kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer ilegal”.
Cyberlaw adalah aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya.
Cyberlaw sendiri merupakan istilah yang berasal dari Cyberspace Law. Istilah lain yang juga digunakan adalah Hukum TI (Law of Information Teknologi), Hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum Mayantara. Secara akademis, terminologi ”cyberlaw” belum menjadi terminologi yang umum. Terminologi lain untuk tujuan yang sama seperti The law of the Internet, Law and the Information Superhighway, Information Technology Law, The Law of Information, dan lain-lain. Dari di sinilah Cyberlaw bukan saja keharusan, melainkan sudah merupakan kebutuhan untuk menghadapi kenyataan yang ada sekarang ini, yaitu dengan banyaknya kasus cyber crime.
Perkembangan cyberlaw di Indonesia sendiri belum bisa dikatakan maju. Hal ini diakibatkan oleh belum mertanya penggunaan internet di seluruh Indonesia. Berbeda dengan Amerika Serikat yang telah menggunakan untuk memfasilitasi seluruh aspek kehidupan mereka. Oleh karena itu, perkembangan hukum dunia maya di Amerika Serikat pun sudah sangat maju.
Landasan fundemental di dalam aspek yuridis yang mengatur lalu lintas internet sebagai hukum khusus, di mana terdapat komponen utama yang men-cover persoalan yang ada di dalam dunia maya tersebut, yaitu:
·         Yuridiksi hukum dan aspek-aspek terkait. Komponen ini menganalisa dan menentukan keberlakuan hukum yang berlaku diterapkan di dalam dunia maya itu.
·         Landasan penggunaan internet sebagai sarana untuk melakukan kebebasan berpendapat yang berhubungan dengan tanggung jawab pihak yang menyampaikan, aspek accountability, tanggung jawab dalam memberikan jasa online dan penyedia jasa internet (internet provider), serta tanggung jawab hukum bagi penyedia jasa pendidikan melalui jaringan internet.
·         Aspek hak milik intelektual di mana ada aspek yang paten, merek dagang rahasia yang diterapkan, serta berlaku di dalam dunia cyber.
·         Aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan hukum yang berlaku di masing-masing yuridiksi negara asal dari pihak yang mempergunakan atau memanfaatkan dunia maya sebagai bagian dari sistem atau mekanusme jasa yang mereka lakukan.
·         Aspek hukum yang menjamin keamanan dari sertiap penggunaan dari internet.
·         Ketentuan hukum yang memformulasikan aspek kepemilikan di dalam internet sebagai bagian dari pada nilai investasi yang dapat dihitung sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan atau akuntasi.
·         Aspek hukum yang memberikan legalisasi atas internet sebagai bagian dari perdagangan atau bisinis usaha.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, maka kita akan dapat melakukan penilaian untuk menjustifikasi sejauh mana perkembangan dari hukum yang mengatur sistem dan mekanisme internet di Indonesia. Walaupun belum dapat dikatakan merata, namun perkembangan internet di Indonesia mengalami percepatan yang sangat tinggi serta memiliki jumlah pelanggan atau pihak yuang mempergunakan jaringan interet terus meningkat sejak paruh tahun 1990-an.



Ruang Lingkup Cyberlaw
Menurut Jonathan Rosenoer dalam Cyberlaw - The Law Of Internet menyebutkan ruang lingkup cyberlaw:

1.      Hak Cipta (Copyright)
2.      Hak Merk (Trademark)
3.      Pencemaran nama baik (Defamation)
4.      Fitnah, pencemaran nama baik (Hate Speech)
5.      Serangan terhadap fasilitas komputer (Hacking, Viruses, Illegal Access, dll)
6.      Regulation Internet Resource
7.      Privacy
8.      Duty Care
9.      Criminal Liability
10.  Procedural Issues (Jurisdiction, Investigation, Evidence, etc)
11.  Electronic Contract
12.  Pornography
13.  Robbery
14.  Consumer Protection
15.  E-Commerce, e- Government


Ruang lingkup yang cukup luas ini membuat cyberlaw bersifat kompleks, khususnya dengan berkembangnya teknologi. Dengan kemajuan teknologi masyarakat dapat memberi kemudahan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia. Seiring dengan kemajuan ini pun menimbulkan berbagai permasalahan, lahirnya kejahatan-kejahatan tipe baru, khususnya yang mengugunakan media internet, yang dikenal dengan nama cyber crime, sperti contoh di atas. Cyber crime ini telah masuk dalam daftar jenis kejahatan yang sifatnya internasional berdasarkan United Nation Convention Againts Transnational Organized Crime (Palermo Convention) November 2000 dan berdasarkan Deklarasi ASEAN tanggal 20 Desember 1997 di Manila. Jenis-jenis kejahatan yang termasuk dalam cyber crime diantaranya adalah :
1.      Cyber-terrorism: National Police Agency of Japan (NPA) mendefinisikan cyber terrorism sebagai penyerangan elektronik pada jaringan komputer yang menyerang efek krisis dalam aktifitas sosial dan  ekonomi di sebuah negara.
2.      Cyber-pornography: penyebaran obscene materials,  termasuk pornografi, indecent exposure, dan child pornography.
3.      Cyber Harrasment: pelecehan seksual melalui email, website atau chat programs.
4.      Cyber-stalking: crimes of stalking melalui penggunaan komputer dan internet.
5.      Hacking: penggunaan programming abilities dengan maksud yang bertentangan dengan hukum.
6.      Carding (credit card fund): carding muncul ketika orang yang bukan pemilik kartu kredit menggunakan kartu credit tersebut secara melawan hukum.
Dari kejahatan-kejahatan akan memberi implikasi terhadap tatanan sosial masyarakat yang cukup signifikan khususnya di bidang ekonomi. Mengingat bergulirnya juga era e-commerce, yang sekarang telah banyak terjadi. Meski berdasarkan prinsip-prinsip yuridiksi yang dianut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), cyber crime dapat diatasi, namun dalam bebrapa hal masih terdapat kekurangan salah satu contohnya adalah mengenai pembuktian tindak pidana dunia maya (cyber crime).

Topik-topik Cyberlaw
Secara garis besar ada 5 topik dari cyberlaw di setiap negara yaitu:
·             Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik;
·             Online transaction, meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman barang melalui internet;
·             Right in electronic information, soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun penyedia content;
·             Regulation information content, sejauh mana perangkat hukum mengatur content yang dialirkan melalui internet; dan
·             Regulation online contact, tata karma dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas dan yurisdiksi hukum.

Asas-asas Cyberlaw
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu:
·                  Subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain;
·                  Objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan;
·                  Nationality, yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku;
·                  Passive nationality, yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban;
·                  Protective principle, yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah.
Asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai Universal Interest Jurisdiction. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti komputer, cracking, carding, hacking dan virus, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.
Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh layar and password. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant phenomena dan physical location.


Tujuan Cyberlaw
Cyberlaw sangat dibutuhkan, kaitannya dengan upaya pencegahan tindak pidana, ataupun penanganan tindak pidana. Cyberlaw akan menjadi dasar hukum dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan dengan sarana elektronik dan komputer, termasuk kejahatan pencucian uang dan kejahatan terorisme.

Teori-teori Cyberlaw
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapat dikemukakan beberapa teori sebagai berikut:
·        The Theory of the Uploader and the Downloader. Berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan upload-download yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap orang untuk meng-upload kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah negara, dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk men-download kegiatan perjudian tersebut. Minnesota adalah salah satu negara bagian pertama yang menggunakan jurisdiksi ini;
·        The Theory of Law of the Server. Pendekatan ini memperlakukan server di mana webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford University tunduk pada hukum California. Namun teori ini akan sulit digunakan apabila uploader berada dalam jurisdiksi asing; dan
·        The Theory of International Spaces. Ruang cyber dianggap sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional, yakni sovereignless quality.

Undang-Undang Yang Mengatur Cybercrime
Menjawab tuntutan dan tantangan komunikasi global lewat Internet, Undang-Undang yang diharapkan (ius konstituendum) adalah perangkat hukum yang akomodatif terhadap perkembangan serta antisipatif terhadap permasalahan, termasuk dampak negatif penyalahgunaan internet dengan berbagai motivasi yang dapat menimbulkan korban-korban seperti kerugian materi dan non-materi.

a.      Kitab Undang Undang Hukum Pidana 
1.      Pasal 362 KUHP yang dikenakan untuk kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang dengan menggunakansoftware card generator di Internet untuk melakukan transaksi di e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan barang dikirimkan, kemudian penjual yang ingin mencairkan uangnya di bank ternyata ditolak karena pemilik kartu bukanlah orang yang melakukan transaksi.
2.      Pasal 406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface atau hacking yang membuat sistem milik orang lain, seperti website atau program menjadi tidak berfungsi atau dapat digunakan sebagaimana mestinya
3.      Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang vulgar di Internet.

b.      Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 
Menurut Pasal 1 angka (8) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, program komputer adalah sekumpulan intruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang intruksi-intruksi tersebut.

c.       Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi 
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 1999, telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. 

d.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan 
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan, pemerintah berusaha untuk mengatur pengakuan atas mikrofilm dan media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan. Misalnya CD-ROM, dan Write-Once-Read-Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang tersebut sebagai alat bukti yang sah. 

e.       Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang 
Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang yang paling ampuh bagi seorang penyidik untuk mendapatkan informasi mengenai tersangka yang melakukan penipuan melalui internet, karena tidak memerlukan prosedur birokrasi yang panjang dan memakan waktu yang lama, sebab penipuan merupakan salah satu jenis tindak pidana yang termasuk dalam pencucian uang (Pasal 2 Ayat (1) Huruf q).

f.       Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 
Selain Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, Undang-Undang ini mengatur mengenai alat bukti elektronik sesuai dengan Pasal 27 huruf b yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

Cyberlaw Di Indonesia
Walaupun belum dapat dikatakan merata, namun perkembangan internet di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat cepat serta memiliki jumlah pelanggan atau pihak yang mempergunakan jaringan internet terus meningkat sejak paruh tahun 1990-an. Salah satu indikator untuk melihat bagaimana aplikasi hukum tentang internet diperlukan di Indonesia adalah dengan banyak perusahaan yang menjadi provider untuk pengguna jasa internet di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan yang memberikan jasa provider di Indonesia sadar atau tidak merupakan pihak yang berperanan sangat penting dalam memajukan perkembangan Cyberlaw di Indonesia dimana fungsi-fungsi yang mereka lakukan seperti:
• Perjanjian aplikasi rekening pelanggan internet;
• Perjanjian pembuatan desain home page komersial;
• Perjanjian reseller penempatan data-data di internet server;
• Penawaran-penawaran penjualan produk-produk komersial melalui internet;
• Pemberian informasi yang di-update setiap hari oleh home page komersial;
• Pemberian pendapat atau polling online melalui internet.
Fungsi-fungsi di atas merupakan faktor dan tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindakan yang berhubungan dengan aplikasi hukum tentang cyber di Indonesia. Oleh sebab itu ada baiknya di dalam perkembangan selanjutnya, setiap pemberi jasa atau pengguna internet dapat terjamin. Maka hukum tentang internet perlu dikembangkan serta dikaji sebagai sebuah hukum yang memiliki displin tersendiri di Indonesia.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau yang disebut cyberlaw, digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya,baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai macam hukuman bagi kejahatan melalui internet.
UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis diinternet dan masyarakat pada umumnya untuk mendapat kepastian hukum dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan elektronik digital sebagai bukti yang sah dipengadilan.UU ITE sendiri baru ada diIndonesia dan telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008. UU ITE terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya.Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37), yaitu:
  • Pasal 27: Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan.
  • Pasal 28: Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan.
  • Pasal 29: Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti.
  • Pasal 30: Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking.
  • Pasal 31: Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi.
Rincian singkat UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) setiap BAB:
·         BAB I: memuat ketentuan umum, pasal 1-2;
·         BAB II: asas dan tujuan, pasal 3-4;
·         BAB III: informasi, dokumen, dan tanda tangan elektronik, pasal 5-12;
·         BAB IV: penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan system elektronik, pasal 13-16;
·         BAB V: transaksi elektronik, pasal 17-22;
·         BAB VI: nama domain, hak kekayaan intelektual dan perlindungan hak pribadi, pasal 23-26;
·         BAB VII: perbuatan yang dilarang, pasal 27-37;
·         BAB VIII: penyelesaian sengketa, pasal 38-39;
·         BAB XI: peran pemerintah dan peran masyarakat, pasal 40-41;
·         BAB X: penyidikkan, pasal 42-44;
·         BAB XI: ketentuan pidana, pasal 45-52;
·         BAB XII: ketentuan peralihan, pasal 53;
·         BAB XIII: ketentuan penutup, pasal 56;

Cyberlaw di Amerika
Di Amerika, Cyberlaw yang mengatur transaksi elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA). UETA diadopsi oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws (NCCUSL) pada tahun 1999. Secara lengkap Cyberlaw di Amerika adalah sebagai berikut:
-          Electronic Signatures in Global and National Commerce Act
-          Uniform Electronic Transaction Act
-          Uniform Computer Information Transaction Act
-          Government Paperwork Elimination Act
-          Electronic Communication Privacy Act
-          Privacy Protection Act
-          Fair Credit Reporting Act
-         Right to Financial Privacy Act
-         Computer Fraud and Abuse Act
-          Anti-cyber squatting consumer protection Act
-          Child online protection Act
-          Children’s online privacy protection Act
-          Economic espionage Act
-          “No Electronic Theft” Act
Cyberlaw yang mengatur transaksi elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA). UETA adalah salah satu dari beberapa Peraturan Perundang-undangan Amerika Serikat yang diusulkan oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws (NCCUSL). Sejak itu 47 negara bagian, Kolombia, Puerto Rico, dan Pulau Virgin US telah mengadopsinya ke dalam hukum mereka sendiri. Tujuan menyeluruhnya adalah untuk membawa ke jalur hukum Negara bagian yag berbeda atas bidang-bidang seperti retensi dokumen kertas, dan keabsahan tanda tangan elektronik sehingga mendukung keabsahan kontrak elektronik sebagai media perjanjian yang layak.
UETA 1999 membahas diantaranya mengenai :
-          Pasal 5 : mengatur penggunaan dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik
-          Pasal 7 : memberikan pengakuan legal untuk dokumen elektronik, tanda tangan elektronik, dan kontrak elektronik.
-          Pasal 8 : mengatur informasi dan dokumen yang disajikan untuk semua pihak.
-          Pasal 9 : membahas atribusi dan pengaruh dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik.
-          Pasal 10 : menentukan kondisi-kondisi jika perubahan atau kesalahan dalam dokumen
elektronik terjadi dalam transmisi data antara pihak yang bertransaksi.
-            Pasal 11 : memungkinkan notaris publik dan pejabat lainnya yang berwenang untuk bertindak secara elektronik, secara efektif menghilangkan persyaratan cap/segel.
-            Pasal 12 : menyatakan bahwa kebutuhan “retensi dokumen” dipenuhi dengan  mempertahankan dokumen elektronik.
-            Pasal 13 : Dalam penindakan, bukti dari dokumen atau tanda tangan tidak dapat dikecualikan hanya karena dalam bentuk elektronik.
-            Pasal 14 : mengatur mengenai transaksi otomatis.
-            Pasal 15 : mendefinisikan waktu dan tempat pengiriman dan penerimaan dokumen elektronik.
-            Pasal 16 : mengatur mengenai dokumen yang dipindahtangankan.

Cyberlaw di Korea Selatan
Cyberlaw di Korea Selatan, antara lain:

·         South Korea:

v  Act on the protection of personal information managed by public agencies
v  Communications privacy act
v  Electronic commerce basic law
v  Electronic communications business law
v  Law on computer network expansion and use promotion
v  Law on trade administration automation
v  Law on use and protection of credit card
v  Telecommunication security protection act
v  National security law














BAB III
STUDI KASUS

·         Pengertian Cyberlaw
Dari beberapa pengertian pada BAB II, secara ringkas dapat dikatakan bahwa cyberlaw adalah penegak hukum/undang-undang yang mengatur setiap tindakan yang dilakukan oleh orang-orang dalam dunia cyber (maya), yang boleh dilakukan maupun hal yang tidak diperbolehkan, dan memberi sanksi bagi yang melakukan pelanggaran/tindakan kejahatan yang dilakukan di dunia cyber sesuai dengan undang-undang yang telah ditetapkan.


·         Studi Kasus Cyberlaw

Media reports of cyber attacks tend to focus on high-profile federal agencies and corporations, but hackers also prey on state governments, as the breach of South Carolina’s Department of Revenue database last fall demonstrated.

Stolen were nearly 3.6 million Social Security numbers and nearly 400,000 credit/debit card numbers, affecting more than three-quarters of South Carolina’s 4.6 million residents. So far, the attack has cost the state $20 million for credit monitoring, security upgrades and consultants.

South Carolina’s experience is a grim reminder of why robust cyber security has become so critical. Yet only 24 percent of state chief information officers said they were “very confident” their networks were adequately protected against external cyber threats in a 2012 survey by the National Association of State Chief Information Officers and Deloitte professional services.

This year, lawmakers in at least 17 states, including South Carolina, have introduced legislation to beef up computer security. The South Carolina measure would overhaul the state’s existing system with a new division of information security within the Division of Information Security to set and oversee state standards. The bill would authorize free credit checks for residents for 10 years to help thwart identity theft and create a permanent nine-member committee to continually evaluate state cyber security laws.

Bills in Hawaii, Kentucky, Michigan, Minnesota and South Carolina call for mandatory reviews of state cyber security systems and vulnerabilities. Measures in Hawaii, Michigan and South Carolina would create councils or other authorities to review existing cyber security measures, and newly enacted legislation in Texas, sponsored by Senator Leticia Van de Putte (D), creates a “cyber security coordinator” position with statewide authority.

Proposals in other states address how to best report and handle security breaches. A new Maryland law improves security procedures and practices and protects against unauthorized use of personal information. Legislation that would let public agencies decide whether to disclose records of cyber attacks or threats was introduced in Arizona and recently passed in Kansas.

Training is another area lawmakers are considering. South Carolina’s system was breached when a state employee, unaware of the potential risk, clicked on an embedded link in an email, allowing malware to invade his computer and obtain his username and password.  Armed with this key information, the hacker went on to steal data throughout the entire database. Legislation in at least five states, including Alabama, Florida, South Carolina, Texas and Vermont, would support training for employees on how to spot and avoid suspicious cyber activity.

 The need for better cyber security will only grow as mobile applications and cloud computing expand states’ electronic banks of private data. Security will be expensive and will demand an unprecedented level of cooperation and information sharing among state, federal, and private security experts. But as South Carolina learned, it can be expensive not to have enough security.











BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
·         Cyberlaw adalah penegak hukum/undang-undang yang mengatur setiap tindakan yang dilakukan oleh orang-orang dalam dunia cyber (maya), yang boleh dilakukan maupun hal yang tidak diperbolehkan, dan memberi sanksi bagi yang melakukan pelanggaran/tindakan kejahatan yang dilakukan di dunia cyber sesuai dengan undang-undang yang telah ditetapkan.
·         Cyberlaw melakukan tugasnya sesuai dengan ruang lingkup, topik, asas dan undang-undang yang telah ditetapkan baik secara internasional maupun nasional (dalam negeri)
·         Pada negara luar, seperti Amerika, Korea Selatan, Jepang, Singapura dan yang lain sebagainya dimana bagian kepolisian telah memiliki badan hukum yang menangani khusus tentang cybercrime. Dan di Indonesia masih hanya undang-undang yang mengatur penggunaan teknologi dan jaringan.

Saran
Masyarakat sebagai subjek hukum yang akan menjalankan setiap aturan positif dan sadar hukum yang ada agar tidak terjadi kerusuhan dari masyarakat dan hanya menuntut pada pemerintah dan  aparat. Masyarakat juga memakai internet dan menikmati fasilitas dunia maya agar tidak menjadi korban kejahatan di dunia cyber.








BAB V
PUSTAKA

Buku: Undang-Undang ITE nomor 11 tahun 2008, redaksi jogja bangkit publisher, anggota IKAPI, percetakan galangpress, distibutor PT Niaga Swadaya, cetakan pertama,
Josua Sitompul, SH, IMM, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana